Sabtu, 03 Maret 2012

Jembatan Merah Nostalgia dan Perjuangan Hidup

Jembatan Merah, sungguh gagah.. berpagar gedung indah//Sepanjang hari.. yang melintasi.. silih berganti//Mengenang susah hati patah.. ingat jaman berpisah……………

Lagu itu berasa akrab di telinga, walau nyaris telinga kita jarang mendegarnya. Bila lagu itu sepertinya telah terdengar dari masa ke masa, apalagi Jembatan Merah yang dikisahkannya. Jembatan ini memang berwarna merah, dibangun sejak zaman VOC sebagai jalur yang menghubungkan Kalimas menuju Gedung Karesidenan Surabaya yang kini tak nampak bentuknya lagi. Awalnya terbuat dari kayu. Dan konon, sekitar tahun 1890-an jembatan kayu tersebut diganti menjadi jembatan berpagar besi yang membuatnya semakin melegenda.
Yang terbayang barangkali, setidaknya bagi saya, adalah jembatan gagah berwarna merah, menghubungkan jalan dari sungai besar dengan besi yang menjulang. Pada kenyataannya bukan. Bentuk ini, kini, terlihat sederhana, bahkan jauh tertinggal dari jembatan tak bernama yang dibangun belakangan. Jembatan Merah terlihat sekadar jembatan menghubungkan Jalan Rajawali dan Jalan Kembang Jepun di sisi utara Surabaya.

Melihat fisiknya terasa tak ada yang istimewa. Tak begitu menarik mata untuk ditatap dan dinikmati. Tapi, tempat menyimpan memoria yang gemanya bisa setiap kali terdengar dan menggelorakan rasa. Jembatan itu tidak hanya menjadi saksi kemajuan sebuah kota dari masa ke masa. Ia telah menjadi tempat banyak kisah kehidupan direnda. Bagi pencipta lagu Jembatan Merah ia menjadi saksi untuk setia. Bagi kawasan Jembatan Merah, begitu kawasan itu lebih dikenal, ia telah menjadi pelaku perubahan kota itu dari masa ke masa. Dari zaman penjajahan sampai kini 66 tahun merdeka. Masih terekam di sana bangunan-bangunan yang terlihat diamakan usia tetapi tetap tegar. Ada kawasan perniagaan Jembatan Merah, ada kawasan pertokoan di Jalan Kembang Jepun.

Kini, Jembatan Merah tetap menjadi teman bagi manusia yang terus berjalan di roda zaman. Sekarang ini dengan mudah terlihat becak-becak dan tukangnya menunggu penumpang. Angkot-angkot berjajar tak jauh dari jembatan. Sebelahnya Jembatan Merah Plasa berdiri menjadi tempat transaksi ekonomi manusia. Jembatan itu bukan hanya tempat merekam nostalgia lagi, walau mungkin masih terjadi. Kini, jembatan itu lebih terlihat menjadi saksi pengulatan manusia menghidupi dirinya.

Seorang tukang becak yang menunggu penumpang, suatu pagi mendekati saya ketika saya berhenti di Jalan Kembang Jepun membeli dan membuka koran baru pagi itu. Saat itu saya memang mencoba menikmati suasana Jembatan Merah. “Mosok SM arep dadi (mau menjadi) presiden. Politik Mas. Semua politik,” begitu kurang lebih katanya dengan aksen Jawa Timuran yang sulit saya ingat, apalagi lafalkan. Ternyata bapak itu untuk beberapa saat telah memerhatikanku dan melirik headline koran yang saya pegang pagi itu. Perbincangan pun memanjang ketika dia menghubungkannya dengan korupsi dan kenyataan hidupnya kini. “Orang korupsi bisa jadi tokoh. Dulu musuh, tapi tiba-tiba bisa jadi teman. Itu semua karena duit. Gak ingat nasib wong cilik iki (tidak ingat nasib orang kecil ini),” begitu omongnya lantang. Aku mendengarkan, mengiyakan, sesekali mempertegas yang bapak itu katakan.

Begitulah Jembatan Merah. Warnanya tetap memerah, begitu juga gedung di sekelilingnya. Kuping tukang becak tadi barangkali juga memerah mendengar berita-berita politik dan uang besar yang dikorupsi tak peduli nasib orang-orang seperti dia. Tetapi, hidup harus terus berjalan. Selesai bercakap cukup lama, bapak itu memakai topi kumalnya, menata handuk kecil di pundak dan mengayuh becaknya. Saya mengemas tas ransel dan melangkah. Di Jembatan Merah, para tukang becak itu menorehkan kenangan manis kehidupannya. Bukan nostalgia cinta, tapi nostalgia melewati kehidupan. (Pacarkembang, 09082011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar