Sabtu, 03 Maret 2012

Gudek Ceker Khas Solo


Sedang liburan di Solo? Ngerasa susah tidur gara-gara perut keroncongan atau iseng nggak ada kerjaan sambil nungguin siaran langsung Liga Champion Eropa? Tenang…
Saat-saat yang menyebalkan tersebut bisa langsung terobati setelah Anda mencoba kuliner khas kota yang juga dikenal dengan sebutan Surakarta ini. Ya, silahkan langsung menyambangi berbagai warung penjaja gudeg yang banyak tersebar di seantero penjuru kota Solo.
Berbeda dengan gudeg kebanyakan, salah satu gudeg ternama di kota yang dikelilingi oleh Gunung Merbabu dan Merapi tersebut dihiasi dengan topping berupa kaki ayam atau yang akrab disebut dengan nama gudeg cakar atau ceker. Hmmm… Rasa ngantuk yang tadinya sempat hinggap di pelupuk mata perlahan mulai pergi setelah hidung mencium aroma manis dari gudeg tersebut. Untungnya saya tiba di warung gudeg yang berlokasi di Jalan Wolter Monginsidi belum terlalu pagi, baru jam 01.45. Jadi antrian pembeli gudeg belum terlalu panjang.
Salah! 6 deret kursi kayu yang ditata seperti di ruang kelas tanpa meja di dalam tenda ternyata sudah penuh terisi para penikmat gudeg tanpa satu pun yang sedang menikmati cita rasa khas gudeg ceker. Inilah salah satu bentuk perjuangan yang harus dilakukan tidak hanya sebagai pengusir kantuk, namun juga demi merasakan sensasi gudeg ceker. Selain bisa mengantri di bangku-bangku kayu tadi, pembeli gudeg juga bisa menunggu tepat di samping sang ibu maestro gudeg yang tampak cekatan melayani setiap pesanan. Namun itu tidak akan membuat seporsi nasi gudeg ceker atau bubur gudeg ceker bisa cepat tiba di pangkuan. Karena beberapa orang pelayan cukup jeli memperhatikan antrian.
Setelah menunggu sekitar 20 menit akhirnya sepiring nasi gudeg beserta ubo rampe seperti sepotong ayam, pedesan krecek, dan seporsi kaki ayam alias ceker pun tiba di tangan. Tanpa tedeng aling aling, mulut pun langsung menunjukkan performanya. Rasa gudeg yang tidak terlalu manis berpadu dengan gurihnya bumbu yang menyelimuti ceker serta rasa pedas dari sambel krecek seolah menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Tekstur unik dari ceker yang terasa sangat lembut membuat saya tidak harus bersusah payah memisahkan tulang-tulang yang ada dibaliknya. Tanpa terasa, butiran-butiran nasi di dalam piring perlahan mulai sirna berpindah ke dalam perut.
Jadi sepertinya terbayar tuntas pengorbanan saya mengantri demi sepiring gudeg ceker sambil menahan kantuk. Kenikmatan hasil olahan sang pemilik membuat warung gudeg ini bisa bertahan lebih dari tiga dekade. Sebuah kesederhanaan cita rasa yang menjadi daya tarik tersendiri bagi para pemburu kuliner. Seperti yang dicari oleh antrian orang-orang yang sudah mengular di belakang saya, bahkan hingga ke trotoar jalan.

Dikutip dari : palingindonesia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar